Galeri

Sabtu, 10 Desember 2011

SLB sebagai Resource Center

Suatu hari, di mana seluruh sekolah telah membuka diri untuk menerima beragam siswa dengan kondisinya masing-masing, kesempatan tidak lagi menjadi sesuatu yang mahal diraih. Semua anak mendapatkan haknya untuk memilih dan menentukan yang mereka mau, dalam kaitannya dengan sekolah yang menjadi lembaga tempat mereka belajar. Kebutuhan mereka yang unik, tidak lagi menjadi momok yang menjadikannya istimewa. Kesadaran bahwa semua anak memiliki hak untuk mendapatkan layanan maksimal, membukakan pintu kreatifitas dan semangat pemberdayaan semua pihak.

SLB menjadi alternatif sekolah untuk mendidikan siswa-siswa yang memang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Semakin sedikit siswa SLB, dan semakin berdaya gurunya, karena mereka akan menjadi nara sumber yang memantau perkembangan siswa-siswa dengan kebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah umum. Guru  menjadi tenaga ahli dalam memberikan pengayaan dan keterampilan dasar bagi siswa berkebutuhan khusus. Dan juga tutor dan konselor bagi guru di sekolah bersangkutan. Hal ini sangat penting, karena ada keterampilan dasar yang harus dikuasai oleh anak-anak dengan kondisi khususnya, seperti tuna netra yang otomatis harus menguasai penulisan dan pembacaan huruf braille untuk memudahkan mereka mengakses informasi. Tidak semua guru memahami bahkan kenal dengan huruf Braille. Di sinilah peran guru SLB untuk memberikan pelatihan keterampilan baca tulis Braille. Atau untuk anak-anak yang menyandang tuna rungu...mereka perlu mendapat pelatihan wicara, atau speech therapy. Di mana layanan ini hanya dapat diberikan oleh tenaga-tenaga yang ahli di bidangnya.

Lalu selanjutnya ada proses observasi, evaluasi, dan pelaporan. Observasi sangat diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari anak berkebutuhan khusus selama mereka mengikuti proses pembelajaran. Penentuan program-program pengembangan serta mengkomunkasikannya dengan orang tua. Dengan kata lain, terbinanya hubungan kerjasama yang sangat baik antara pihak sekolah, resource centre, dan orang tua sebagai pihak-pihak penentu keberhasilan anak didik.

Bisa dibayangkan, begitu harmonisnya mutual sistem yang terbentuk. Namun, semuanya tidak terlepas dari peranan pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Otomatis, menjadi PR pemerintah untuk memikirkan sistem kompensasi dari tenaga-tenaga guru SLB yang menjalankan tugasnya, moving dari 1 sekolah ke sekolah yang lain. Dengan pemahaman yang sama, visi dan misi yang sejalan, semua akan mudah untuk dilaksanakan. Sehingga angka 74 % anak disabilitas yang sekarang belum bersekolah, dapat dihilangkan dan semua anak berkesempatan untuk mengikuti proses penempaan diri sebagai generasi bangsa yang berarti di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar