Galeri

Minggu, 20 November 2011

Setara dalam Inklusi

Kenapa ada kata inklusi jika pada dasarnya Tuhan tidak pernah menciptakan ekslusifitas dari apapun ? Manusia memang selalu lebih kreatif dalam menyombongkan dirinya. Menciptakan segala macam istilah dan produk abstrak maupun nyata dalam hiduonya. Tidak akan pernah berhenti membuat terobosan-terobosan yang awalnya dipandang mustahil. Berpikir . .. berpikir . . . dan berpikir terus. Berlari . . . berlari . . . .dan berlari seolah kaki-kakinya terbuat dari baja, bukannya dari tulang. Meski hanya dengan hanya 2 tangan, terus menguleni adonan ide-idenya menjadi karya-karya baru yang heboh. Sampai munculah kata inklusi, setelah disadari banyak krisis muncul dari penerapan ekslusi. Jadi apa yang salah ? Sikap sombong ? Tidak semua orang sombong. Hanya saja, kesombongan yang diciptakan orang-orang tertentu menjadi sebuah refleksi orang-orang lainnya, untuk memikirkan penanganan dampak dari kesombongan itu sendiri.

Di mana letak kesombongan dalam pendidikan ? Keangkuhan akan singgasana yang cemerlang dengan kurcaci-kurcaci kecil sempurna tanpa cela. Maka dianggap sempurnalah kerajaan sekolah itu. Sang raja atau ratu yang berkuasa duduk sambil mendengarkan cerita-cerita lucu dan mengesankan atau berita -berita membanggakan dari ukiran-ukiran prestasi mereka. Begitulah gambaran umum lembaga sekolah yang ideal di mata sebagian orang. Maka, ketika seorang ibu menggandeng anaknya yang tuna rungu memasuki gerbang sekolah, mereka menutup rapat pintunya, dengan deklamasi yang entah datang dari mana, ribuan alasan klise disampaikan, hingga si ibu dan anak melangkah pergi dengan hati yang gamang. Ke mana mereka akan pergi selanjutnya ?

Ke sana ke sini, sang ibu tidak dapat lagi melihat sekolah untuk anaknya. Sekolah-sekolah yang pernah dilaluinya telah menutup rapat pintu-pintu kelas untuk anaknya. Sang Ibu merana, menatapi anaknya yang sedang menggambar sebuah sekolah di atas kertas, dan menuliskan sebuah kata, "Sekolahku". Tapi yang mana sekolah untuknya ?

Dengan alasan, karena takut tidak dapat memberikan pelayanan yang terbaik, banyak sekolah yang melakukan tindakan di atas. Sebenarnya bukan itu, mereka hanya tidak mengerti sepenuhnya, bahwa pendidikan itu untuk semua. Sekolah itu adalah kerajaan bersama. Dan guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan adalah pembelajar sepanjang hayat yang harus memiliki semangat untuk mencerdaskan ank bangsa tanpa diskriminasi.